G30S/PKI dalam Tiga Versi Kisah Sejarah
Category: fakta
Januari 1965 mendung menyelimuti Jakarta. Rakyat letih dan cemas. Isu kudeta mere-bak di tengah inflasi meroket. Bahan-bahan kebutuhan pokok lenyap di pasaran. Setiap hari rakyat harus sabar berdiri dalam antrean panjang untuk menukarkan kupon pemerintah deng-an minyak goring, gula, beras, tekstil, dan kebutuhan lainnya. Rupiah nyaris tidak ada nilai-nya .
Begitulah setidaknya gambaran ibukota di awal-awal tahun 1965. Keadaan ekonomi negara dan rakyat semakin buruk tiap tahunnya, setidaknya sampai tahun 1968. Tahun yang membuat seluruh bangsa terperangah, sampai pada perubahan sistem politik dan rezim yang berkuasa. Mendung yang menandakan bahwa tahun itu adalah tahun yang “terkutuk”, terku-tuk karena tahun itulah terjadinya apa yang kita kenal dengan Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI).
Peristiwa pemberontakan G30S/PKI memang akan selalu menjadi ingatan bangsa dalam perjalanan sejarah. Peristiwa yang merenggut setidaknya tujuh orang perwira Angkatan Darat yang selanjutnya disebut Dewan Revolusi. Bahkan pada waktu-waktu berikutnya ada 500.000 – 1.000.000 jiwa manusia yang diambil untuk membayar peristiwa tersebut. Secara politik peristiwa tersebut terpaksa menyeret Bung Karno dari tampuk kekuasaanya.
Sampai sekarangpun sesungguhnya peristiwa G30S/PKI tersebut masih menimbulkan pertanyaan banyak pihak. Walaupun pemerintah pada tahun 1996 telah menerbitkan secara resmi mengenai peristiwa tersebut dalam satu buku. Tetapi hal itu tetap tidak cukup dipercaya oleh sebagian besar kalangan, karena masih terdapat banyak kejanggalan. Sehingga banyak buku-buku lain yang terbit yang menceritakan sisi lain dari peristiwa tragis tersebut.
Oleh karena itu dalam tulisan ini akan disampaikan beberapa versi yang menyangkut peristiwa G30S/PKI tersebut. Baik yang bersumber resmi dari pemerintah, maupun dari kete-rangan saksi dan pelaku yang dituduh terlibat dalam gerakan tersebut, juga dari tulisan repor-tase dari beberapa wartawan.
Versi Buku Putih
Pada tahun 1994 Sekretariat Negara (Setneg) menetbitkan satu buku yang mencerita-kan kronologi sampai pada penumpasan G30S/PKI secara sistematis. Buku itu menjadi satu-satunya sumber sejarah resmi yang diterbitkan negara menyangkut G30S, yang dikenal deng-an sebutan buku putih. Buku yang konseptor dan editor utamanya adalah presiden yang ber-kuasa saat itu Soeharto.
Awalnya menurut buku tersebut, dalam rangka mendiskreditkan TNI-AD (yang di- anggap sebagai musuh oleh PKI), PKI melancarkan isu Dewan Jenderal. Isu Dewan Jenderal diciptakan Biro Khusus PKI sebagai bahan perang urat syaraf untuk membentuk citra buruk terhadap pimpinan AD di mata masyarakat. Dikatakan bahwa “Dewan Jenderal” terdiri atas sejumlah Jenderal TNI-AD, seperti Jend. A.H. Nasution, Letjen Ahmad Yani, Mayjen S. Parman, dan lima jenderal lainnya yang dianggap anti PKI.
Pada sekitar awal September 1965 dilancarkan isu bahwa Dewan Jenderal akan mere-but kekuasaan dari Presiden Soekarno dengan memanfaatkan pengerahan pasukan dari daerah yang didatangkan ke Jakarta dalam rangka peringatan HUT ABRI pada tanggal 5 Oktober 1965. Isu ini semakin dikuatkan oleh Dokumen Gilchrist, Gilchrist sendiri merupakan Duta Besar Inggris untuk Indonesia yang bertugas 1963 – 1966.
Dokumen itu sendiri di dalamnya terdapat tulisan our local army friend, pada intinya memberikan kesan bahwa TNI-AD bekerjasama dengan Inggris, yang pada waktu itu dika- tegorikan sebagai salah satu kekuatan Nekolim. Oleh Dr.Soebandrio dokumen itu diberikan kepada Bung Karno (BK), sehingga pada 27 Mei 1965 BK mengumpulkan seluruh panglima angkatan di Istana Bogor utnuk tujuan klarifikasi. Klarifikasi terutama ditujukan untuk Letjen Yani sebagai Men/Pangad, dan Letjen Yani membantahnya.
Menurut buku putih tersebut sejak bulan Juli – September 1965, pelatihan pasukan su-karelawan dilakukan secara intensif dan massif dengan alasan untuk memperkuat pasukan Dwikora atas instruksi Men/Pangau Omar Dani. Penyelenggaraan pelatihan tersebut dipusat-kan di Lubang Buaya, Pondok Gede, dengan pimpinan pelatihan yaitu Mayor Udara Sujono sebagai komandan. Keterlibatan TNI-AU sangat besar dalam kegiatan ini, karena peralatan pelatihanpun diusahakan dari gudang TNI-AU.
Selanjutnya pada akhir Agustus sampai dengan akhir September 1965, Biro Khusus Central PKI secara maraton mengadakan pertemuan-pertemuan yang kesimpulannya dilapor-kan kepada Ketua CC PKI D.N.Aidit, yang saat itu juga menjabat Menteri Koordinator di da-lam Kabinet Dwikora. Pertemuan dan rapat-rapat tersebut membicarakan kesiapan gerakan pemberontakan, terutama kesiapan secara militer.
Secara struktural sesuai dengan keputusan Politbiro CC PKI bahwa pimpinan tertinggi gerakan di tingkat pusat berada di tangan D.N. Aidit, karena memang selain di Jakarta gerakan yang sama dilakukan di beberapa daerah di Indonesia. Sementara untuk komando di lapangan gerakan tersebut dikomandani Letkol. Untung, Untung sendiri merupakan Dan Yon Pengawal Presiden. Di lapangan gerakan tersebut terbagi dalam tiga pasukan yaitu Pasukan Gatotkaca, Pasukan Pasopati, dan Pasukan Bimasakti.
Pada tanggal 28 September 1965, Sjam selaku Kepala Biro Khusus Central PKI mela-por kepada D.N. Aidit bahwa penentuan Hari-H dan Jam-J tanggal 30 September pukul 04.00 dan disetujui. Sementara sasaran utama gerakan yaitu Jend. A.H. Nasution, Letjen. Ahmad Yani, Mayjen Haryono MT, Mayjen Soeprapto, Mayjen S. Parman, Brigjen D.I. Panjaitan, dan Brigjen Sutojo S.
Perintah untuk gerakan ini jelas yaitu menangkap perwira-perwira di atas hidup atau mati. Di lapangan sesungguhnya gerakan ini telah gagal dengan kurangnya koordinasi yang baik, koordinasi antar pasukan ataupun koordinasi antara pasukan dan pimpinan. Walaupun secara umum sasaran gerakan tercapai kecuali Jend. Nasution, tetapi itu telah dibayar oleh nyawa putrid Nasution Ade Irma Suryani dan ajudannya Lettu. Pierre Tandean.
Diceriterakan betapa kejamnya aksi penculikan yang dilakukan oleh gerakan ini. Be-rapa jenderal telah ditembak mati duluan di kediamannya seperti yang dialami Letjen Yani, Mayjen Haryono, dan Brigjen Panjaitan. Sementara yang lainnya disiksa habisa-habisan da-hulu sebelum ditembak jatuh ke sumur, mereka ini yaitu Mayjen Soeprapto, Mayjen Parman, Brigjen Sutojo, dan Lettu Tandean. Seluruh korban penculikan di bawa ke Lubang Buaya, Pondok Gede dan diserahkan kepada pimpinan Pasukan Gatotkaca Lettu. Dul Arief.
Pada paginya tersiarlah kabar bahwa pimpinan-pimpinan teras AD diculik oleh suatu gerakan pemberontak. Gerakan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang berusaha meng-kudeta Presiden Soekarno, gerakan yang dicurigai dikendalikan oleh Partai Komunis Indone-sia (PKI). Dalam proses pencarian korban penculikan, pengendalian keamanan ibukota, sam-pai pada proses penumpasan inilah terlihat jelas betapa besar jasa Mayjen. Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad.
Mayjen Soeharto sebagai Pangkostrad mempunyai keyakinan bahwa gerakan tersebut merupakan gerakan PKI yang bertujuan menggulingkan dan merebut kekuasaan dari Peme-rintah Republik Indonesia yang sah. Yang selanjutnya oleh Soeharto gerakan ini disebut se-bagai Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI). Pangkostrad berhasil menguasai kembali alat-alat vital negara seperti Kantor RRI dan Telkom, yang sempat dikua-sai oleh G30S, pada tanggal 1 Oktober pukul 19.00.
Mayjen Soeharto mengangkat dirinya sebagai pimpinan sementara AD menggganti-kan Letjen Yani. Dengan kekuasaan AD yang ada di tangannya Soeharto melakukan perlawa-nan langsung terhadap G30S sampaai keesokan harinya. Sampai tanggal 2 Oktober pukul 14.00 pasukan pendukung G30S menghentikan perlawanannya dan melarikan diri ke daerah Pondok Gede. Dengan hancurnya kekuatan fisik G30S di ibukota, operasi selanjutnya dilan-jutkan untuk mencari para korban penculikan. Hingga akhirnya atas perintah Pangkostrad di-lakukan penggalian atas timbunan tanah di atas sumur tua, pada tanggal 3 Oktober pukl 17.00 yang dicurigai tempat pembuangan mayat korban penculikan, dan benar.
Versi Wartawan
Di bagian ini akan diceriterakan peristiwa Gerakan 30 September/Partai Komunis In-donesia (G30S/PKI) oleh seorang wartawan Kompas bernama Maruli Tobing (2001), yang dimuat dalam buku Dialog Dengan Sejarah. Dalam tulisannya bahwa G30S bukanlah gerakan yang berada di bawah kendali sebagai partai seper-ti yang dikatakan Soeharto. Walaupun memang ada orang-orang PKI yang trebukti terlibat di dalamnya secara langsung maupun tidak langsung.
Menurut Tobing G30S merupakan desainan Amerikan Serikat melalui lembaga CIA- nya, dan PKI dijadikan kambing hitamnya. Ditambah dengan konflik intern di dalam tubuh AD antara pihak yang anti-Soekarno seperti Jend. Nasution dan Mayjen Soeharto, dengan yang pro-Soekarno seperti Letjen Yani. Walaupun memang ketiga-tiganya membenci kehadi-ran PKI di kancah politik, tetapi untuk tingkat loyalitasnya terhadap BK tidak sama.
Sebelum tahun 1965 sebenarnya CIA telah seringkali mencoba melakukan kudeta ter-hadap BK dengan berbagai cara. Seperti memberikan bantuan dana satu juta dollar AS untuk partai yang anti-PKI dan anti-Soekarno, yang ditransfer melalui Hong Kong untuk membia-yai kampanye tahun 1995. Selain itu Peristiwa Cikini juga merupakan salah satu upaya men-jatuhkan BK dengan cara pembunuhan, yang didalangi CIA. Namun tetap tidak berhasil.
Dalam kasus G30S, Tobing menilai bahwa ada main mata antara TNI-AD dan CIA, dengan beberapa bukti membenarkan itu. Satu di antara bukti itu yaitu adanya satu telegram dari Kedubes AS di Jakarta yang masuk ke Deplu AS di Washington tanggal 21 Januari 1965. Isinya informasi pertemuan pejabat teras AD pada hari itu, dalam pertemuan itu salah satu perwira tinggi AD yang hadir bahwa adanya rencana pengambilalihan kekuasaan jika Bung Karno berhalangan.
Kapan rencana ini akan dijalankan, bergantung pada keadaan konflik yang sedang di-bangun beberapa pecan ke depan. Dalam 30 atau 60 hari kemudian AD akan menyapu PKI. Arsip telegram yang tersimpan di Lyndon B. Johnson Library dengan nomor control 16687 itu menyebut, beberapa perwira tinggi lain yang hadir malah menghendaki agar rencana itu dijalankan tanpa menunggu Soekarno berhalangan,
Dalam tulisannya Tobing lebih menekankan bahwa sesungguhnya persamaan persepsi antara pimpinan teras AD mengenai PKI, akhirnya berbenturan pada loyalitas tergadap Bung Karno. Yang oleh sebagian jenderal BK terlalu lunak dan selalu melindungi PKI yang dapat merusaka persatuan dan kesatuan bangsa. Sehingga jenderal-jenderal yang anti-Soekarno mendekati AS yang telah diketahui telah lama ingin menggulingkan Soekarno dan PKI.
Versi Saksi dan Pelaku
Versi ini merupakan hasil wawancara dan intisari dari otobiografi para saksi dan pe-laku G30S, yang terangkum dalam buku yang berjudul Saksi Dan Pelaku Gestapu (2005). Pada bagian ini para saksi dan pelaku G30S yang pernah diadili di Mahmilub dan menekan di penjara selama puluhan tahun, lebih menekankan pada pengaruh Soeharto.
Bahwa hampir se-luruh saksi dan pelaku menyatakan bahwa Pangkostrad saat itu sesungguhnya sudah menge-tahui akan adanya gerakan pemberontkan. Bahkan Pangkostrad Mayjen Soeharto disebut se-bagai konseptor gerakan tersebut. Beberapa saksi dan pelaku di dalam buku tersebut yang dimuat petikan wawancara dan kutipan otobiografinya yaitu, May-jen Soeharto, Seka Bungkus, Letkol Heru Atmodjo, Kolonel Latief, Laksdya Omar Dani, Mayjen Pranoto Reksosamodra, dan Jend. A.H. Nasution.
Seperti yang diceriterakan Kolonel Latief yang saat itu menjabat sebagai Komandan Brigif I Jayasakti, dan di Buku Putih disebutkan bahwa ia merupakan wakil dari pimpinan ge-rakan Letkol. Untung. Pada persidangan di Mahmilub ia divonis penjara seumur hidup, se- telah pledoinya ditolak. Setelah runtuhnya Orde Baru, Kol. Latief akhirnya dibebaskan bu- lan April 1999 dari Rutan Salemba selama 33 tahun 5 bulan dipenjara.
Bahwa dua malam berturut-turut sebelum meletusnya G30S, ia telah melapor ke Pangkostrad Mayjen Soeharto, tentang adanya rencana menghadapkan tujuh jen-deral kepada presiden.
Pada 28 September malam ia mendatangi Pak Harto di rumahnya, untuk menanyakan isu Dewan Jenderal. Dan ternyata Pak Harto telah mengetahuinya melalui anak buahnya dari Yogya, Bagio. Menurut informasi yang didapatnya bahwa Dewan Jenderal akan melakukan kup terhadap BK. Sementara tanggal 29 malamnya melapor ke Soeharto di RSPAD Gatot Subroto, bahwa besok aka nada tujuh orang jenderal AD yang akan dihadapkan ke presiden. Dan reaksinya Pak Harto hanya manggut-manggut, dan selesai.
Ini setidaknya menunjukkan bahwa sebenarnya Mayjen Soeharto sudah mengetahui bahwa aka nada rencana kudeta terhadap Bung Karno oleh Dewan Jenderal. Dan rencana me-nghadapkan tujuh orang jenderal AD ke BK. Tetapi Mayjen Soeharto sebagai Pangkostrad tidak mengambil tindakan apapun.
Mana Yang Benar?
Dari ketiga versi di atas penulis merasa versi wartawan lah yang paling dapat dipercaya. Karena memang tidak mungkin semudah yang dibayangkan untuk menjatuhkan Presiden Soekarno dari tampuk kekuasaan, sementara masih banyak rakyat yang mencintainya. Apalagi di dalam tubuh AD sendiri terdapat dua faksi yang anti dan pro terhadap Soekarno, sehingga cukup sulit jika AD melaksanakan sendirian kudeta tersebut.
Akhirnya faksi yang anti-Soekarno mau tidak mau harus mencari bantuan asing yang dirasa berkepentingan yang sama dengan AD, dan itu tidak lain Amerika Serikat. Dan kebe- tulan karena ada gerakan pemberontak dari orang-orang yang mencintai Soekarno dengan sepenuh hati yang berusaha “membuang” jenderal-jenderal AD yang tidak loyal. Ditambah mereka berasal dan dibawah kendali D.N. Aidit yang notabene merupakan Ketua Politbiro CC PKI, maka jadilah PKI sebagai kambing hitamnya.
GW : Pusat Pemberontakan PKI adalah di BANDARA HALIM PERDANA KUSUMA yang merupakan basis kuat Angkatan Udara RI Dari 7 jendral Dewan Revolusi terdapat yang loyal pada SOEKARNO DAN PKI hanya 5 dewan Revolusi dan 2 Jendralnya Nasution dan Soeharto adalah Jendral nti PKI dan Soekarno dengan Mendirikan Partai politik Bernama (GOLKAR) dari hasil pemilu PKI di Dukung Soekarno,TNI AU dan TNI AL 1.500.000 orang di tembak Oleh TNI AD sebagai balas dendam atas G30S tanpa TNI AD fikirkan yang Mereka Bantai Adalah Anak Bangsa dan Prajurit TNI AU
apalagi di Dukung wawancara Ini
Hari Selasa, pengujung tahun 1966. Penjara Militer Cimahi, Bandung, Jawa Barat. Dua pria berhadapan. Yang satu bertubuh gempal, potongan cepak berusia 39 tahun. Satunya bertubuh kurus, usia 52 tahun. Mereka adalah Letnan Kolonel Untung Samsuri dan Soebandrio, Menteri Luar Negeri kabinet Soekarno. Suara Untung bergetar. “Pak Ban, selamat tinggal. Jangan sedih,” kata Untung kepada Soebandrio.
Itulah perkataan Untung sesaat sebelum dijemput petugas seperti ditulis Soebandrio dalam buku Kesaksianku tentang G30S. Dalam bukunya, Soebandrio menceritakan, selama di penjara, Untung yakin dirinya tidak bakal dieksekusi. Untung mengaku G-30-S atas setahu Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto.
Keyakinan Untung bahwa ia bakal diselamatkan Soeharto adalah salah satu “misteri” tragedi September-Oktober. Kisah pembunuhan para jenderal pada 1965 adalah peristiwa yang tak habis-habisnya dikupas. Salah satu yang jarang diulas adalah spekulasi kedekatan Untung dengan Soeharto.
Memperingati tragedi September kali ini, Koran Tempo bermaksud menurunkan edisi khusus yang menguak kehidupan Letkol Untung. Tak banyak informasi tentang tokoh ini, bahkan dari sejarawan “Data tentang Untung sangat minim, bahkan riwayat hidupnya,” kata sejarawan Asvi Warman Adam.
Potongannya seperti preman
Tempo berhasil menemui saksi hidup yang mengenal Letkol Untung. Salah satu saksi adalah Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi. Umurnya sudah 83 tahun. Ia adalah sahabat masa kecil Untung di Solo dan bekas anggota Tjakrabirawa. Untung tinggal di Solo sejak umur 10 tahun. Sebelumnya, ia tinggal di Kebumen. Di Solo, ia hidup di rumah pamannya, Samsuri. Samsuri dan istrinya bekerja di pabrik batik Sawo, namun tiap hari membantu kerja di rumah Ibu Wergoe Prajoko, seorang priayi keturunan trah Kasunan, yang tinggal di daerah Keparen, Solo. Wergoe adalah orang tua Suhardi.
“Dia memanggil ibu saya bude dan memanggil saya Gus Hardi,” ujar Suhardi. Suhardi, yang setahun lebih muda dari Untung, memanggil Untung: si Kus. Nama asli Untung adalah Kusman. Suhardi ingat, Untung kecil sering menginap di rumahnya. Tinggi Untung kurang dari 165 sentimeter, tapi badannya gempal.
“Potongannya seperti preman. Orang-orang Cina yang membuka praktek-praktek perawatan gigi di daerah saya takut semua kepadanya,” kata Suhardi tertawa. Menurut Suhardi, Untung sejak kecil selalu serius, tak pernah tersenyum. Suhardi ingat, pada 1943, saat berumur 18 tahun, Untung masuk Heiho. “Saya yang mengantarkan Untung ke kantor Heiho di perempatan Nonongan yang ke arah Sriwedari.”
Setelah Jepang kalah, menurut Suhardi, Untung masuk Batalion Sudigdo, yang markasnya berada di Wonogiri. “Batalion ini sangat terkenal di daerah Boyolali. Ini satu-satunya batalion yang ikut PKI (Partai Komunis Indonesia),” kata Suhardi. Menurut Suhardi, batalion ini lalu terlibat gerakan Madiun sehingga dicari-cari oleh Gatot Subroto.
Clash yang terjadi pada 1948 antara Republik dan Belanda membuat pengejaran terhadap batalion-batalion kiri terhenti. Banyak anggota batalion kiri bisa bebas. Suhardi tahu Untung kemudian balik ke Solo. “Untung kemudian masuk Korem Surakarta,” katanya. Saat itu, menurut Suhardi, Komandan Korem Surakarta adalah Soeharto. Soeharto sebelumnya adalah Komandan Resimen Infanteri 14 di Semarang. “Mungkin perkenalan awal Untung dan Soeharto di situ,” kata Suhardi.
Keterangan Suhardi menguatkan banyak tinjauan para analisis. Seperti kita ketahui, Soeharto kemudian naik menggantikan Gatot Subroto menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Untung lalu pindah ke Divisi Diponegoro, Semarang. Banyak pengamat melihat, kedekatan Soeharto dengan Untung bermula di Divisi Diponegoro ini. Keterangan Suhardi menambahkan kemungkinan perkenalan mereka sejak di Solo.
Hubungan Soeharto-Untung terjalin lagi saat Soeharto menjabat Panglima Kostrad mengepalai operasi pembebasan Irian Barat, 14 Agustus 1962. Untung terlibat dalam operasi yang diberi nama Operasi Mandala itu. Saat itu Untung adalah anggota Batalion 454 Kodam Diponegoro, yang lebih dikenal dengan Banteng Raiders.
Di Irian, Untung memimpin kelompok kecil pasukan yang bertempur di hutan belantara Kaimana. Sebelum Operasi Mandala, Untung telah berpengalaman di bawah pimpinan Jenderal Ahmad Yani. Ia terlibat operasi penumpasan pemberontakan PRRI atau Permesta di Bukit Gombak, Batusangkar, Sumatera Barat, pada 1958. Di Irian, Untung menunjukkan kelasnya. Bersama Benny Moerdani, ia mendapatkan penghargaan Bintang Sakti dari Presiden Soekarno.
“Kedua prestasi inilah yang menyebabkan Untung menjadi anak kesayangan Yani dan Soeharto,” kata Kolonel Purnawirawan Maulwi Saelan, mantan Wakil Komandan Tjakrabirawa, atasan Untung di Tjakrabirawa, kepada Tempo.
Untung masuk menjadi anggota Tjakrabirawa pada pertengahan 1964. Dua kompi Banteng Raiders saat itu dipilih menjadi anggota Tjakrabirawa. Jabatannya sudah letnan kolonel saat itu.
Anggota Tjakrabirawa dipilih melalui seleksi ketat. Pangkostrad, yang kala itu dijabat Soeharto, yang merekomendasikan batalion mana saja yang diambil menjadi Tjakrabirawa.
Sebab, menurut Suhardi, siapa pun yang bertugas di Jawa Tengah mengetahui banyak anggota Raiders saat itu yang eks gerakan Madiun 1948. “Pasti Soeharto tahu itu eks PKI Madiun.”
Di Tjakrabirawa, Untung menjabat Komandan Batalion I Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa. Batalion ini berada di ring III pengamanan presiden dan tidak langsung berhubungan dengan presiden. Maulwi, atasan Untung, mengaku tidak banyak mengenal sosok Untung.
Suhardi masuk Tjakrabirawa sebagai anggota Detasemen Pengawal Khusus. Pangkatnya lebih rendah dibanding Untung. Ia letnan dua. Pernah sekali waktu mereka bertemu, ia harus menghormat kepada Untung. Suhardi ingat Untung menatapnya. Untung lalu mengucap, “Gus, kamu ada di sini….”
“Mengapa perhatian Soeharto terhadap Untung begitu besar?” Menurut Maulwi, tidak ada satu pun anggota Tjakra yang datang ke Kebumen. “Kami, dari Tjakra, tidak ada yang hadir,” kata Maulwi.
Dalam bukunya, Soebandrio melihat kedatangan seorang komandan dalam pesta pernikahan mantan anak buahnya adalah wajar. Namun, kehadiran Pangkostrad di desa terpencil yang saat itu transportasinya sulit adalah pertanyaan besar. “Jika tak benar-benar sangat penting, tidak mungkin Soeharto bersama istrinya menghadiri pernikahan Untung,” tulis Soebandrio. Hal itu diiyakan oleh Suhardi. “Pasti ada hubungan intim antara Soeharto dan Untung,” katanya.
Soeharto: Sikat saja, jangan ragu
Dari mana Letkol Untung percaya adanya Dewan Jenderal? Dalam bukunya, Soebandrio menyebut, di penjara, Untung pernah bercerita kepadanya bahwa ia pada 15 September 1965 mendatangi Soeharto untuk melaporkan adanya Dewan Jenderal yang bakal melakukan kup. Untung menyampaikan rencananya menangkap mereka.
Bila kita baca transkrip sidang pengadilan Untung di Mahkamah Militer Luar Biasa pada awal 1966, Untung menjelaskan bahwa ia percaya adanya Dewan Jenderal karena mendengar kabar beredarnya rekaman rapat Dewan Jenderal di gedung Akademi Hukum Militer Jakarta, yang membicarakan susunan kabinet versi Dewan Jenderal.
Maulwi melihat adalah hal aneh bila Untung begitu percaya adanya informasi kudeta terhadap presiden ini. Sebab, selama menjadi anggota pasukan Tjakrabirawa, Untung jarang masuk ring I atau ring II pengamanan presiden. Dalam catatan Maulwi, hanya dua kali Untung bertemu dengan Soekarno. Pertama kali saat melapor sebagai Komandan Kawal Kehormatan dan kedua saat Idul Fitri 1964. “Jadi, ya, sangat aneh kalau dia justru yang paling serius menanggapi isu Dewan Jenderal,” kata Maulwi.
Menurut Soebandrio, Soeharto memberikan dukungan kepada Untung untuk menangkap Dewan Jenderal dengan mengirim bantuan pasukan. Soeharto memberi perintah per telegram Nomor T.220/9 pada 15 September 1965 dan mengulanginya dengan radiogram Nomor T.239/9 pada 21 September 1965 kepada Yon 530 Brawijaya, Jawa Timur, dan Yon 454 Banteng Raiders Diponegoro, Jawa Tengah. Mereka diperintahkan datang ke Jakarta untuk defile Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober.
Pasukan itu bertahap tiba di Jakarta sejak 26 September 1965. Yang aneh, pasukan itu membawa peralatan siap tempur. “Memang mencurigakan, seluruh pasukan itu membawa peluru tajam,” kata Suhardi. Padahal, menurut Suhardi, ada aturan tegas di semua angkatan bila defile tidak menggunakan peluru tajam. “Itu ada petunjuk teknisnya,” ujarnya.
Pasukan dengan perlengkapan siaga I itu kemudian bergabung dengan Pasukan Kawal Kehormatan Tjakrabirawa pimpinan Untung. Mereka berkumpul di dekat Monumen Nasional.
Soeharto melewati pasukan yang hendak membunuh 7 jenderal
Dinihari, 1 Oktober 1965, seperti kita ketahui, pasukan Untung bergerak menculik tujuh jenderal Angkatan Darat. Malam itu Soeharto , menunggui anaknya, Tommy, yang dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto. Di rumah sakit itu Kolonel Latief, seperti pernah dikatakannya sendiri dalam sebuah wawancara berusaha menemui Soeharto.
Adapun Untung, menurut Maulwi, hingga tengah malam pada 30 September 1965 masih memimpin pengamanan acara Presiden Soekarno di Senayan. Maulwi masih bisa mengingat pertemuan mereka terakhir terjadi pada pukul 20.00. Waktu itu Maulwi menegur Untung karena ada satu pintu yang luput dari penjagaan pasukan Tjakra. Seusai acara, Maulwi mengaku tidak mengetahui aktivitas Untung selanjutnya.
Ketegangan hari-hari itu bisa dirasakan dari pengalaman Suhardi sendiri. Pada 29 September, Suhardi menjadi perwira piket di pintu gerbang Istana. Tiba-tiba ada anggota Tjakra anak buah Dul Arief, peleton di bawah Untung, yang bernama Djahurup hendak masuk Istana. Menurut Suhardi, tindakan Djahurup itu tidak diperbolehkan karena tugasnya adalah di ring luar sehingga tidak boleh masuk. “Saya tegur dia.”
Pada 1 Oktober pukul 07.00, Suhardi sudah tiba di depan Istana. “Saya heran, dari sekitar daerah Bank Indonesia, saat itu banyak tentara.” Ia langsung mengendarai jip menuju markas Batalion 1 Tjakrabirawa di Tanah Abang.
“Saya ingat yang jaga saat itu adalah Kopral Teguh dari Banteng Raiders,” kata Suhardi. Begitu masuk markas, ia melihat saat itu di Tanah Abang semua anggota kompi Banteng Raiders tidak ada.
Begitu tahu hari itu ada kudeta dan Untung menyiarkan susunan Dewan Revolusi, Suhardi langsung ingat wajah sahabat masa kecilnya dan sahabat yang sudah dianggap anak oleh ibunya sendiri tersebut. Teman yang bahkan saat sudah menjabat komandan Tjakrabirawa bila ke Solo selalu pulang menjumpai ibunya. “Saya tak heran kalau Untung terlibat karena saya tahu sejak tahun 1948 Untung dekat dengan PKI,” katanya.
Kepada Oditur Militer pada 1966, Untung mengaku hanya memerintahkan menangkap para jenderal guna dihadapkan pada Presiden Soekarno. “Semuanya terserah kepada Bapak Presiden, apa tindakan yang akan dijatuhkan kepada mereka,” jawab Untung.
Heru Atmodjo, Mantan Wakil Asisten Direktur Intelijen Angkatan Udara, yang namanya dimasukkan Untung dalam susunan Dewan Revolusi, mengakui Sjam Kamaruzzaman- lah yang paling berperan dalam gerakan tersebut. Keyakinan itu muncul ketika pada Jumat, 1 Oktober 1965, Heru secara tidak sengaja bertemu dengan para pimpinan Gerakan 30 September: Letkol Untung, Kolonel Latief, Mayor Sujono, Sjam Kamaruzzaman, dan Pono. Heru melihat justru Pono dan Sjam-lah yang paling banyak bicara dalam pertemuan itu, sementara Untung lebih banyak diam.
“Saya tidak melihat peran Untung dalam memimpin rangkaian gerakan atau operasi ini (G-30-S),” kata Heru saat ditemui Tempo.
Soeharto: Letkol Untung murid pimpinan PKI
Soeharto, kepada Retnowati Abdulgani Knapp, penulis biografi Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia’s Second President, pernah mengatakan memang kenal dekat dengan Kolonel Latif maupun Untung. Tapi ia membantah isu bahwa persahabatannya dengan mereka ada kaitannya dengan rencana kudeta.
“Itu tak masuk akal,” kata Soeharto. ”Saya mengenal Untung sejak 1945 dan dia merupakan murid pimpinan PKI, Alimin. Saya yakin PKI berada di belakang gerakan Letkol Untung,” katanya kepada Retnowati.
Demikianlah Untung. Kudeta itu bisa dilumpuhkan. Tapi perwira penerima Bintang Sakti itu sampai menjelang ditembak pun masih percaya bakal diselamatkan.
Pesan soekarno yang terakhir
Soekarno: "indonesia bukanlah negara anti komunist, saya tidak mau punya anak yang tidak KIRI" http://www.youtube.com/watch?v=5T9Hb3VA0hg&feature=related
pidato Soekarno Terakhir
rezimku mungkin Sudah Selesai Akan Tetapi Revolusioner Selanjutnya Bukan Kau Soeharto Bukan Kau Nasuton dan Bukan Kau Lah soehato
Sumber Arsip NAsional RI
Referensi
-Lesmana, Surya, 2005, Saksi Dan Pelaku Gestapu,
-Media Pressindo: Yogyakarta. Oetama, Jakob, et al, 2001,
-Dialog Dengan Sejarah Soekarno Seratus Tahun,
-Kompas Media Nusantara: Jakarta. 1994,
-Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia,
-Sekretariat Negara RI: Jakarta. Ekamara Ananami Putra
-Akun Tanjung Prayoga: Jakarta Timur